Aku
tahu ini cinta. Mungkin bukan cinta yang pertama, karena aku pun tak yakin
kapan pertama kali aku menyadari rasa
cinta kepada orang lain. Mungkin juga ini bukan cinta satu-satunya, karena
dalam satu waktu aku tidak hanya mencintai satu orang. Dan sangat mungkin ini
bukan cinta pada pandangan pertama, karena entah kapan dimulainya, semakin hari
perasaan ini semakin kuat.
Siapakah
orang yang kucintai ini? Yang kucintai adalah kuncup-kuncup bunga, yang semakin
hari kelopaknya mekar semakin lebar dan indah. Dan siapakah yang kumaksud
dengan kuncup-kuncup bunga? Sebagian orang mungkin menyebutnya dengan mentee,
atau binaan, atau mutarobbi, atau sebutan lainnya lagi. Tapi bagiku adik-adik
ini adalah kuncup bunga.
Istilah kuncup bunga mungkin tidak benar-benar asli ideku. Aku menirunya dari murobbiyahku yang pertama di kampus ini.
Ketika beliau pergi ke luar kota untuk melanjutkan ke fase kehidupan yang
berikutnya, beliau mengirimi masing-masing dari kami surat cinta. Dalam surat
cinta itu beliau menyebut kami sebagai kuncup-kuncup bunga yang kini telah
mekar, dan memiliki panggilan istimewa untuk masing-masing dari kami. Untukku,
aku mendapatkan sebutkan ‘cheerful girl’.
Sungguh surat cinta itu sangat berkesan
bagiku.
Dan
sekarang sepertinya aku mulai paham bagaimana perasaan beliau saat itu. Bagiku
mereka adalah kuncup-kuncup bunga yang menanti waktu yang sempurna untuk mekar,
dan aku mencintai mereka semua. Bagaimana aku tahu bahwa ini cinta? Ya, aku
yakin ini cinta. Karena setiap kali mengingat mereka, hatiku akan bergetar dan
aku akan tersenyum. Bahkan sekarang, ketika aku menuliskan ini, aku tersenyum
mengingat mereka satu per satu.
Pernah
dulu aku mengirim sms untuk adik-adikku yang kuakhiri dengan kalimat ana uhibbuki fillah. Sebagian besar dari
mereka menjawab ana uhibbuki fillah
atau luv u too ‘coz Allah. Namun ada
satu orang yang jawabannya sangat berbeda. Dia membalas “memang atas dasar apa mba bilang cinta? Maaf, sekarang sangat banyak
orang-orang yang mengumbar kata cinta tapi hanya di mulut”. Deg... Untuk
sepersekian detik aku lumayan kaget dengan pertanyaan sekaligus pernyataan
itu.. dan kemudian aku berpikir, apa bukti bahwa aku mencintai mereka? Akhirnya
aku menemukan jawabannya, yaitu tiap kali aku mengingat mereka, hatiku akan
bergetar dan secara otomatis aku akan tersenyum. Tidak jarang aku senyum-senyum
sendiri ketika membaca sms, dan biasanya orang yang sedang ada di dekatku akan
bertanya “hayooo.... baca sms dari siapa??”. Mungkin (cuma mungkin lho..). mereka berpikir itu sms dari lawan jenis. Tapi
bukan, sms yang sering membuatku senyum-senyum sendiri ketika membacanya adalah
sms yang dikirimkan oleh adik-adikku. Tanda-tanda lain bahwa rasa ini memang
cinta adalah aku akan sangat merindukan mereka ketika lama tak bersua. Rasanya
ingin segera bertemu mereka. Entah itu bertemu ketika pertemuan resmi (baca: halaqoh) ataupun ketika bertemu secara
kultural. Hatiku juga akan berbunga-bunga ketika menerima hadiah-hadiah dari
mereka, karena itu tanda kasih mereka. Dan yang paling membuatku yakin bahwa
aku mencintai mereka adalah aku merasa sangat sangat berat ketika tiba waktunya
untuk berpisah dengan mereka. Kalau bisa memilih, aku akan memilih untuk terus
membersamai mereka, karena hati ini terasa sakit ketika memikirkan akan
berpisah dengan mereka. Tapi tentu saja apa yang kuinginkan belum tentu menjadi
yang terbaik untuk mereka, dan aku harus berlapang dada untuk berpisah dengan
mereka. Itu tadi beberapa tanda yang menurutku merupakan tanda-tanda cinta,
sehingga aku yakin bahwa yang kurasakan adalah benar-benar cinta, bukan sekedar
ucapan di lisan. Tentu saja ada tanda-tanda lainnya, tapi sepertinya tidak
perlu kuceritakan di sini.
Lalu,
bagaimana cara aku memperlakukan kuncup-kuncup bunga yang sangat kucintai ini?
Pertama kali aku merasakan pengalaman membina adalah hampir empat tahun yang
lalu. Ketika itu aku diamanahi untuk menjadi pemandu kelompok mentoring
fakultas, yang pesertanya adalah adik-adik yang angkatannya satu tingkat di
bawahku. Kombinasi kelompok ini sangat unik. Ada beberapa anak yang sudah
memakai jilbab, walaupun masih minimalis. Ada pula yang memakai cadar(walaupun
ketika di kampus cadarnya dilepas), dan ada beberapa yang belum berjilbab. Pada
awalnya aku sempat bingung bagaimana harus memperlakukan mereka. Untungnya saat
itu diadakan training untuk para pemandu. Ada satu analogi menarik yang
disampaikan oleh sang trainer, yang masih sangat kuingat sampai sekarang, yaitu
seperti ini:
“Bayangkan di sini ada teko, air, gelas,
sendok, teh, gula. Kira-kira sebagai pemandu kalian memposisikan diri sebagai
apa?”
Jawaban
yang muncul sangat beragam. Kemudian sang trainer memberi penjelasan. Ketika kita
menempatkan diri sebagai teko, lama kelamaan teko ini akan kosong karena isinya
terus menerus dituang ke gelas. Ketika menjadi air, seolah-olah kita menganggap
binaan kita sebagai gelas yang benar-benar kosong, dan itu tidak mungkin. Bila
kita menempatkan diri sebagai gelas, lama-lama gelas ini akan luber bila
terlalu banyak isinya. Paling tepat adalah ketika kita menempatkan diri sebagai
sendok. Anggaplah teko, gelas, air, gula, dan teh itu adalah potensi yang sudah
ada dalam diri adik-adik kita, dan di sinilah peran kita sebagai sendok, yaitu
untuk meracik segala potensi tadi menjadi kombinasi yang luar biasa.
Analogi
itulah yang hingga kini kutanamkan secara kuat dalam benakku. Aku ibarat
sendok. Jadi bagaimanapun potensi yang dimiliki adikku, aku tidak boleh merasa
rendah diri. Bukan berarti dengan begitu aku tidak perlu menambah kafaahku. Aku
harus terus menerus menambah kafaahku, namun aku tidak akan membiarkan
kelemahan-kelemahan yang kumiliki membuatku menjadi minder dan tidak layak
untuk memandu adik-adikku. Hingga saat ini, kuncup-kuncup yang kucintai
sangatlah beragam dan semua memiliki potensi yang luar biasa. Beberapa dari
mereka ada yang sudah bertahun-tahun mondok
sebelum kuliah. Sebagian besar dari mereka saat ini menjadi santri di beberapa
pondok muslimah. Tidak sedikit dari adik-adikku yang memiliki hafalan al qur’an
jauh lebih banyak daripada aku. Tidak sedikit pula dari mereka yang memiliki
IPK cumlaude dengan segudang prestasi
akademik. Dan banyak dari mereka yang memegang posisi penting di organisasi
kemahasiswaan, serta masih banyak lagi kelebihan-kelebihan mereka. Itu membuatku makin sadar kalau aku jauh dari
sempurna. Tapi adik-adikku pun bukan orang yang sempurna. Aku tidak perlu
menampakkan diri sebagai sosok yang sempurna. Ketika adik-adikku menanyakan
tentang suatu hal dan aku tidak mengetahui jawabannya, aku akan dengan jujur
mengatakan bahwa aku belum mengetahui jawabannya, dan akan segera mencari tahu.
Ketika aku dimintai tolong untuk melakukan sesuatu yang aku tidak bisa, aku
akan menjawab jujur bahwa aku tidak memiliki skill itu. Justru dengan ketidaksempurnaan inilah kami sama-sama
berproses untuk selalu memperbaiki diri. Karena ketidaksempurnaan ini juga kami
butuh untuk saling melengkapi, hingga bisa menjadi kaleidoskop warna yang indah.
Hal
ini membuatku mengingat sosok ibuku. Setiap kali kami bercakap-cakap, sering
kali di akhir pembicaraan ibuku menutupnya dengan meminta maaf bila mungkin ada
salah.. Meminta maaf karena belum bisa memenuhi kebutuhanku... Meminta maaf karena
tidak bisa menjadi ibu yang sempurna.. dan permintaan maaf ibuku selalu
membuatku meneteskan air mata. Justru permintaan maaf atas segala kekurangan
itulah yang membuat beliau menjadi sosok yang sempurna di mataku. Dan begitu
pula aku memperlakukan adik-adikku. Aku memang bukan sosok yang sempurna dan
memiliki banyak keterbatasan, tapi aku akan selalu berusaha memberikan yang
terbaik untuk kuncup-kuncup yang sangat kucintai ini. Bukan berarti aku ingin
dipandang sempurna seperti aku memandang ibuku. Bukan itu... Satu hal yang
sangat kutekankan dan aku berusaha agar mereka tidak pernah meragukannya, yaitu
bahwa aku mencintai mereka karena Allah. Dengan rasa cinta inilah aku berusaha
untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Sebagaimana aku
yang tidak pernah meragukan rasa cinta orang tuaku kepadaku, dan dengan
pengetahuan itulah aku yakin bahwa mereka selalu berusaha memberikan yang
terbaik untukku.
Sleman,
31 Juli 2012, 21.50 WIB.
Untuk
kuncup-kuncup bungaku, aku yakin pada waktunya kalian akan mekar dengan indah
dan menebarkan keharuman ke sekeliling kalian. I’ll wait and see. Ana uhibbukum fillah...