Sebenarnya sudah lama sekali saya ingin menulis tentangnya.. Tepatnya sejak awal saya diamanahi untuk mendampinginya. Saya ingin membuat catatan rutin perkembangannya, namun ternyata niat itu tak terlaksanakan... Jadilah sekarang saya tuliskan versi ringkasannya.
Namanya adalah Ghina. Dia adalah sepupu saya dari pihak ibu. Sebagai anak tunggal, bisa dibilang sejak lahir dia tidak pernah terpisah dari orang tuanya. Lantas di mana spesial-nya? Dia spesial karena dia memiliki cara berkomunikasi yang berbeda dari orang kebanyakan :) Ya, dia tuli sejak kecil. Sayangnya kondisi ini tidak terdeteksi sejak dini sehingga bisa diberi penanganan yang khusus. Kombinasi antara dia yang tidak bergaul dengan orang lain selain orang tuanya dan teman-temannya di sekolah yang mayoritas adalah anak autis, jadilah pada usia 12 tahun dia masih memiliki kesulitan dalam mengekspresikan maksudnya. Dia tidak bisa berbicara, dan juga tidak bisa bahasa isyarat (yang resmi diajarkan di SLB B). Mungkin itu juga alasan kenapa dia hanya mau berinteraksi dengan orang tuanya.
Singkat kata, orang tuanya sadar bahwa kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Ghina tidak akan pernah bisa mandiri bila dia tidak pernah bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Belum lagi kebiasaan tantrumnya bila punya keinginan yang tidak dipenuhi. Maka dari itu walaupun tidak tega, orang tua Ghina memutuskan untuk menyekolahkan Ghina di sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, yaitu SLB (B). Upaya yang mereka lakukan sungguh tidak setengah-setengah. Satu semester sebelum kelulusan SD Ghina sudah diajak terbang ke Pulau Jawa untuk mensurvei sekolah yang kira-kira cocok untuknya. Akhirnya mereka memutuskan Ghina bersekolah di SLB di Sleman, DIY.
Itulah awal mulanya saya diamanahi untuk menjadi wali Ghina di daerah rantauan ini. Tentu saja di awal saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak pernah memiliki adik, jadi tidak tau bagaimana cara memperlakukan seorang adik. Saya juga tidak mempunyai saudara perempuan, jadi saya juga bingung bagaimana cara memperlakukan saudara perempuan. Kecanggungan itu disempurnakan dengan saya tidak tau bagaimana cara berkomunikasi dengan anak tuna rungu yang cukup sulit untuk diajak fokus pada lawan bicara.
Masa-masa awal perkenalan kami sungguh lumayan sulit. Ghina sulit untuk saya ajak kontak mata dan hanya diam tanpa ekspresi. Itulah saat dimana saya ingin mulai menulis 'Jurnal Perkembangan Ghina'. Saat itu saya bertekad untuk membangun trust Ghina kepada saya... Agar dia tidak lagi diam tanpa ekspresi.
Itu kisah setahun yang lalu. Alhamdulillah sekarang hubungan kami sudah mengalami banyak kemajuan. Ghina juga sudah mengalami banyak kemajuan. Satu poin penting dalam menangani anak berkebutuhan khusus, kita tidak bisa menyamakan parameter perkembangan setiap anak. Hal-hal yang biasa saja bagi orang lain, bisa jadi sangat luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus.
Ghina yang sekarang sudah bisa saya paksa untuk fokus melihat mata saya ketika saya ajak berkomunikasi. Oke, dia memang masih belum bisa bahasa isyarat ataupun membaca gerak bibir. Dia juga belum terlalu paham arti kata-kata dalam bentuk tulis. Tapi well, dengan kontak mata ini at least kami cukup bisa menyampaikan maksud kami satu sama lain, dengan dibantu bahasa isyarat acak-acakan ala Tarzan :D Ghina yang sekarang juga sudah cukup bisa dikendalikan emosinya, tidak gampang tantrum bila keinginannya tidak terpenuhi saat itu juga. Dia juga sudah bisa mencuci baju sendiri :D Dan yang paling membuat saya bahagia adalah dia sudah mau mengekspresikan afeksinya pada saya, entah itu dengan memeluk atau bercanda. Bagi orang lain mungkin itu tidak dianggap sebagai capaian yang luar biasa. tapi bagi saya itu sudah one step ahead dari Ghina yang pertama kali saya kenal.
Banyak pengalaman-pengalaman unik yang saya alami bersamanya. Tantangan yang paling terasa adalah ketika saya harus mengantarkannya pulang ke Samarinda ketika liburan kenaikan kelas beberapa bulan yang lalu. Pertama-tama saya harus berjuang untuk memahamkan dia bahwa kami akan melakukan perjalanan pulang ke rumahnya. Saya bahkan sudah menyiapkan surat pengantar dari pihak sekolah yang menjelaskan bahwa dia anak berkebutuhan khusus. Saya khawatir petugas di bandara mencurigai saya sebagai penculik anak di bawah umur. Karena Ghina belum memiliki KTP dan dia tidak akan bisa menjawab jika ada petugas yang menanyainya. So, lebih baik bersiap dengan kemungkinan terburuk :D Ketika di ruang tunggu bandara pun saya harus berkali-kali meminta maaf dan memberi penjelasan pada orang-orang yang berniat baik dengan mengajak ngobrol Ghina dan kebingungan ketika orang yang diajak bicara hanya menatap diam tanpa ekspresi. Dan ketika saya jelaskan bahwa Ghina tuna rungu, kebanyakan dari mereka langsung jadi awkward, bingung bagaimana harus memperlakukan Ghina. Yah, begitulah potret masyarakat kita,masih canggung dan bingung dalam berinteraksi dengan orang-orang berkebutuhan khusus.
Sekarang saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengenal seorang Ghina. Dia membuat saya bisa lebih mempersiapkan mental jika kelak saya menjadi orang tua. Oke, saya yakin semua orang berharap memiliki keturunan yang semua inderanya bisa berfungsi dengan normal. Tapi di sisi lain kita juga harus siap dengan seperti apapun anak yang diamanahkan Allah pada kita. Bisa jadi kita diamanahi seorang anak yang berkebutuhan khusus. Banyak orang tua yang tidak mau menerima kenyataan bahwa anaknya berkebutuhan khusus, dan itu hanya akan memperlambat perkembangan anak mereka. Ada juga yang menyembunyikan anak mereka di rumah karena dianggap sebagai aib. Padahal semua anak pastilah ciptaan sempurna dari Allah :) Tugas sebagai orang tua adalah menjaga amanah ini sebaik-baiknya, sesuai dengan kebutuhan mereka :)
0 comments:
Post a Comment