RSS

Menggunakan Analogi Membungkus Kado dalam Menghadapi Manusia

Belakangan ini saya memiliki satu hobi baru, yaitu wrapping atau membungkus kado ^,^ Mungkin bagi sebagian orang membungkus kado terkesan sebagai sesuatu yang remeh. Namun bagi saya hobi baru saya ini merupakan sesuatu yang penting. Ada dua alasan utama kenapa saya menganggap ini adalah hal yang luar biasa.

  1. Sampai beberapa bulan yang lalu saya paling anti dengan yang namanya wrapping, karena hasil wrapping saya sampai saat itu biasanya benar-benar parah.
  2. Saya menganggap unsur kemasan hadiah itu sangat penting, karena menunjukkan kesungguhan si pemberi hadiah.
Beberapa bulan yang lalu seorang kawan saya, sebut saja Jabal, mengenalkan saya pada jasa wrapper profesional. Saya sangat suka mengamati mbak-mbak yang profesional ini dalam membungkus kado, karena barang yang awalnya biasa-biasa aja dengan bentuk yang tidak jelas, setelah dibungkus bisa menjadi sangat cantik. dan tentu saja 'kecantikan' ini berbanding lurus dengan harga. Untuk membungkus sebuah kado, minimal menghabiskan di Rp.12.000,- Seringnya saya harus membayar Rp.20.000,- bahkan lebih, tergantung habisnya bahan yang digunakan.


Lama kelamaan, saya berpikir 'daripada uang saya habis untuk bayar jasa bungkus kado, mending saya belajar bungkus sendiri. Toh kayaknya ga susah-susah amat, asal punya peralatan yang pas'. Dari situlah tiba-tiba saya berminat untuk belajar wrapping. Akhirnya saya membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan, seperti lem tembak, berbagai jenis kertas kado, plastik kado, kain khusus pembungkus kado, berbagai jenis pita, dan gunting dengan berbagai pola guntingan. Ternyata skill saya dalam membungkus kado bisa mengalami kemajuan, tidak separah beberapa bulan yang lalu.







Tiba-tiba tadi saya mencoba memikirkan, mengapa hasil wrapping saya yang sekarang sangat jauh lebih lumayan dari yang dulu-dulu. Barulah saya sadar kalau sekarang saya belajar menyesuaikan bahan pembungkus dengan kertas yang dibungkus. Kalau dulu sih, barang yang bentuknya kubus atau balok biasanya langsung saya bungkus. Paling pusing kalau barang yang mau dibungkus bentuknya bukan kubus atau balok, karena susah rapi kalau dibungkus. Paling-paling solusi yang waktu itu saya ambil adalah mencari kardus/kotak yang muat untuk barang tadi, baru barang itu saya bungkus. Jadilah kado saya hampir selalu berbentuk kubus atau balok =.='

Dan sekarang saya mulai mencari kombinasi pembungkus yang pas. . Misal untuk kado yang bentuknya memang sudah kubus atau balok, bisa langsung dibungkus dengan kertas kado tipis yang cantik.. Tapi jangan coba-coba menggunakan kertas kado tipis pada barang yang tidak keras, misal kain. Karena kertas kado akan gampang lecek dan sobek. Untuk kado yang jenis itu, lebih baik bila menggunakan pembungkus yang bebahan kain, jadi bentuknya bisa menyesuaikan. begitu juga dengan barang-barang lain dengan bentuk yang aneh, misal lampu teplok, lebih pas jika dibungkus dengan kain. Gambar kado berwarna biru yang paling atas itu merupakan contoh kado yang dibungkus dengan bahan kain. Sedangkan yang di bawahnya(ungu) menggunakan kertas kado yang sangat tipis. kado yang paling bawah ini menggunakan kertas kado dengan ketebalan yang sedang-sedang saja.

Balik ke judul tulisan ini, trus apa hubungan antara wrapping dengan memperlakukan manusia?? Hubungannya kuat banget lho!!! hehehehehe  Kita analogikan manusia sebagai kado yang belum dibungkus.. Potensi dan karakter manusia kan bermacam-macam dan tidak ada yang sama persis. maka dari itu kita juga tidak bisa memperlakukan semua orang dengan sama rata. Misal kita menggunakan konteks Pengembangan Sumber Daya  Manusia di suatu lembaga. Tiap orang yang ada di lembaga itu memiliki keunikannya masing-masing, tinggal bagaimana orang yang ada di PSDM mengasah semua potensi tadi dengan tepat. Tidak jarang kita mendengar ada kader yang mengeluh karena ditempatkan di posisi yang tidak menjadi minat atau keahliannya. Itu ibarat kita  membungkus lampu teplok dengan memasukkan ke kardus berbentuk kubus dan kemudian membungkusnya dengan kertas kado. Lampu teplok tadi tetap bisa diakui sebagai kado, namun 'penampilannya' tidak optimal karena daya tarik aslinya tertutupi karena dipaksa untuk berbentuk kubus. Begitu juga dengan kader yang merasa 'salah tempat' tadi. Mungkin dia tetap akan bisa menjalankan jobdes walaupun tidak memiki minat dan bakat di sana. Tapi biasanya outputnya akan kurang optimal, atau bahkan minimalis, karena potensi kader tersebut ada di tempat lain.

Analogi wrapping ini tidak hanya bisa digunakan dalam konteks PSDM lembaga. Ini bisa diterapkan dalam hal pergaulan, juga dalam hal mendidik dan memperlakukan anak. Jadi, pilihlah pembungkus yang paling tepat untuk masing-masing barang, agar menjadi kado yang unik :)

"Abi, poligamilah!" Kapling hati ; Kalau Bisa Mensejahterakan Banyak orang, Mengapa Hanya Memilih Satu? :)


sumber gambar: google


"Kalau Bisa Mensejahterakan Banyak orang, Mengapa Hanya Memilih Satu?" 



 Statement lugas itu sontak membuat kami terdiam dan berpikir. Memikirkan apa? Poligami tentu saja, karena konteks statement di atas adalah tentang poligami. Bagi pembaca yang merasa bingung, monggo dibaca dulu Ketika Poligami Dipertentangkan atau Jemputlah Tulang Rusukmu yang Lain.

Biasanya saya mendengar statement yang serupa dengan judul di atas itu dari pihak laki-laki yang sedang berargumen tentang pro poligami, sedangkan para perempuan yang saya kenal kebanyakan berkisar antara sangat kontra (ekstremnya, bilang "kalau laki-laki boleh poligami berarti perempuan juga boleh poliandri") atau yang netral (misal dengan mengatakan "Saya tidak menentang konsep poligami, tapi saya pribadi menolak untuk dipoligami"). Nah, ajaibnya, statement "Kalau Bisa Mensejahterakan Banyak orang, Mengapa Hanya Memilih Satu?" yang saya dengar ini keluar dari mulut seorang perempuan yang sekaligus sudah menjadi istri.

Setelah kami berhasil melewati fase 'tersontak' tadi, otomatis kami langsung bertanya "Maksudnya gimana?". Perempuan tadi, mari kita sebut saja 'Ummi' bukannya memberikan penjelasan lengkap, tapi malah mengeluarkan statement lain yang berhasil membuat kami melongo, yaitu :

"Ternyata hati bisa dikapling" O_o

Oke, kami jadi terdiam lagi karena berusaha memahami statement tersebut. Tapi ternyata kapasitas nalar kami sangat terbatas, hingga akhirnya kami pun menyerah dan meminta penjelasan.

Ummi tadi menjelaskan, maksud dari 'kapling hati' ini baru benar-benar bisa dipahami seseorang yang telah memiliki anak. Jadi, menurut beliau, orang yang memiliki anak lebih dari satu akan otomatis 'mengapling' hatinya. How come?? Misal nih, seseorang memiliki 4 orang anak. Perasaan sang orang tua terhadap keempat anak tadi tidak akan pernah bisa sama persis. Begitu pula dengan perlakuan yang diberikan. Tapi apa itu berarti sang orang tua tidak adil terhadap keempat anaknya? Tidak juga kan.. Adil bukan berarti sama persis. Tiap anak memiliki keunikan dan kebutuhannya masing-masing, sehingga orang tua pun menyesuaikan dengan itu.


Sang Ummi tadi menganalogikan suami yang berpoligami seperti orang tua yang memiliki anak lebih dari satu. Ini juga salah satu argumen yang digunakan sang Ummi untuk 'memaksa' suaminya untuk menikah lagi. Jadi jangan takut nantinya tidak bisa adil, dan bila bisa mensejahterakan banyak orang, tentu pahala yang didapat bisa lebih banyak.

Bukannya gayung bersambut, suami dari Ummi tadi (kita sebut saja Abi) malah (lagi-lagi) menolak dengan menggunakan hujjah QS An Nisa ayat 3
 ”…Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat 
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja…” 


Abi membalas argumen 'kapling hati' tadi dengan analogi 'mesin'. Apa pula itu? O_o

Jadi begini, ibarat kendaraan bermotor, tentu menggunakan mesin atau suku cadang lainnya. Kendaraan tadi akan sangat terbiasa dengan mesin  atau suku cadang yang sudah jadi bawaannya itu. Namun ketika ada mesin atau suku cadang baru, otomatis yang lama akan ditinggalkan (Semacam 'turun mesin' gitu kali ya.. -.-a). dan proses 'meninggalkan yang lama' ini walaupun berusaha dihindari akan tetap menjadi keniscayaan.. Karena si Abi tadi merasa tidak akan sanggup untuk adil, maka beliau memilih untuk menikahi satu saja.

Oh iya, ketika mendengar analogi tentang mesin tadi salah satu pendengar ada yang nyeletuk "Kata bapak saya, mesin yang paling pertama itu emang 
yang paling bagus" #eaaaaa 

Selain beberapa statement yang membuat kami melongo tadi, si Ummi juga memberikan statement lain, yang kali ini benar-benar so sweet ^____^  Jadi tuh, si Ummi pernah nanya ke si Abi

"di luar sana kan ada banyak akhwat yang cantik, tapi kenapa hanya memilih aku??"

dan si Abi pun menjawab

 "di atas langit ada langit"

Maksudnya adalah, tentu saja di luar sana ada banyak yang lebih baik dari yang kita miliki. Justru karena itulah kita harus bersyukur dengan apa yang kita miliki (senyum).