RSS

Wejangan Kelulusan dari Bapak



Saya yakin ada banyak orang-orang di sekitar saya yang peduli dengan kelulusan saya.

Dari hasil pengamatan saya, orang-orang yang memberikan perhatian pada skripsi saya bisa dikategorikan sebagai berikut: 
  1.  Orang yang menanyakan progress saya sambil lalu...
  2. Mereka yang serius menayakan progress tapi sadar tidak bisa memberi bantuan secara konkret.
  3. Orang yang tidak menanyakan secara detail tapi selalu memberikan semangat positif.
  4. Orang yang menanyakan secara detail dan menawarkan bantuan secara konkret.
  5. Orang yang tidak banyak bertanya tapi selalu konkret dalam membantu.
  6. Orang yang tidak bertanya dan tidak membantu tapi langsung menghakimi.

    Jadi merasa termasuk yang manakah kamu? Hahaha...




Oke, jadi saya memang lumayan lama mengalami stuck di bab empat, bingung apa yang harus dituliskan karena output data saya aneh dan saya jadi semakin bingung dalam membaca data itu.
Sebenarnya bisa saja kalau saya memakai cara praktis dengan menggunakan jasa profesional terkait spss untuk mengulang olah data saya. Tapi yeah, jiwa idealis saya ternyata menolaknya. Dalam hati saya berpikir, apa gunanya saya menghabiskan waktu sangat lama untuk mengerjakan skripsi ini jika pada akhirnya saya tetap tidak paham dengan apa yang saya kerjakan. Sudah nggarapnya lama ya at least paham lah dengan apa yang dikerjakan so I won't be a total looser  ^^' 

Nah, dari situ saya bertanya dan minta bantuan sana-sini. Mulai dari minta bantuan adik binaan (dan beliau sudah lulus :D ), dan ketika si adik binaan ini bingung, beliau minta tolong temannya yang dianggap ahli soal statistik/spss ini untuk membantu saya. Subhanallah, walaupun baru pertama kali kenal dengan kawannya itu, beliau dengan sabar dan baik hati membantu tanpa menanyakan kenapa saya yang kakak tingkatnya ini masih berkutat dengan skripsi. Ga cuma itu, dia juga menawarkan nomer kontaknya pada saya supaya saya bisa menghubungi beliau sewaktu-waktu jika butuh bantuan tanpa perlu perantara adik binaan saya tadi. Selain belajar ke beliau (yang sefakultas dengan saya), saya juga bertekad untuk mempelajari statistik dan spss langsung dari anak statistik. Maka bergurulah saya pada seorang mahasiswi statistik yang sangat luar biasa. Kenapa luar biasa? Karena beliau sendiri masih berkutat dengan skripsinya, tapi selalu mempunyai waktu untuk dengan sabar mengajarkan ilmu-ilmunya pada saya. Dari situ kami mengulang lagi pengolahan data saya dan alhamdulillah kali ini hasilnya tidak ganjil lagi dan saya paham dengan apa makna dibalik angka-angka itu.

Beberapa paragraf di atas tadi adalah prolog dari isi judul saya :D Jadi, malam ini saya kembali berguru ke tempat anak statistik tadi karena ketika seharian nggarap di perpus tadi ada beberapa hal yang membuat saya bingung dan perlu penjelasan. Di tengah sesi pelajaran statistika dan spss ini, tiba-tiba handphone saya berdering, dan yang menelpon adalah bapak saya. Agak kaget, karena selama ini bapak saya jarang menelpon saya. Biasanya ibu yang menelpon dan setelah ngobrol dengan ibu, telpon dioper ke bapak.  

Kurang lebih begini cuplikan pembicaraan kami tadi di telpon :

Saya : assalamu'alaykum bapak..
Bapak : wa'alaykumsalam... Alhamdulillah bisa denger suara nduk'e, ditelpon sering susah (karena saya seringnya berada di area susah sinyal).
Saya  : hehehehehe (ketawa sambil ngerasa bersalah karena kayaknya kok durhaka banget jadi anak sampai orang tuanya kesulitan menghubungi)
Bapak : Lagi dimana? Di kos? Atau lagi ngisi liqo? Atau dimana?
Saya : lagi belajar di kos temen pak..
Bapak : belajar apa?
Saya : belajar statistik
Bapak : lho, kok belajar statistik?
Saya : iya, kan skripsi Nunung pakai satatistik..
Bapak : Oalah.... Soal skripsi, kemarin memperpanjangnya 1 semester bukan?
Saya : iya..
Bapak : deadline 1 semesternya itu kapan?
Saya : 31 Januari
Bapak : kira-kira bisa ga selesai sesuai deadline itu?
Saya : insyaa Allaah..... bantu do'a ya pak...
Bapak : Bapak insyaa Allaah mendo'akan terus tanpa perlu diminta...   Selama ini kan Nunung udah dapet banyak banget nikmat dari Allah, yang ga terhitung jumlahnya... Bisa jadi lulus agak lebih lama dari yang lain ini bentuk ujian Allah untuk Nunung..... Jadi yang sabar ya nduk, jangan lupa sama nikmat Allah yang banyak itu. Tiap orang punya ujiannya masing-masing.
Saya : *mata berkaca-kaca*
Bapak : Lagian Nunung di situ kan ga cuma untuk belajar psikologi..... Tapi juga belajar ilmu kehidupan.... Dan yang paling utama ya belajar agama... Ilmu agama itu yang paling penting dan harus diutamakan... Insyaa Allah banyak yang bisa Nunung pelajari selain ilmu di perkuliahan..
Saya : *mulai mbrebes*
Bapak : jadi jalani aja semuanya dengan sabar & tawakal... Bapak bantu dengan do'a... 
Saya ; insyaa Allaah pak..
Bapak : udah dulu ya, Nunung lanjutkan aja belajarnya.....Assalamu'alaykum..
Saya : wa'alaykumsalam...

Masya Allah.... Setelah mendengar wejangan bapak tadi, rasanya bener-bener adeeeeemmmm banget.  Saya yakin banyak orang yang juga perhatian pada saya... Tapi sangat sedikit yang asertif dalam menunjukkan perhatiannya... Bapak sudah mengenal saya sejak dilahirkan, jadi memang tidak heran kalau bapak tau bagaimana cara memotivasi saya tanpa menghakimi.. 

Sejak awal kuliah, berkali-kali orang tua  saya menegaskan kalau mereka menyekolahkan saya supaya saya memperoleh ilmu, bukan supaya saya bisa mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi. Karena kewajiban orang tua adalah memberi bekal ilmu pada anak-anaknya supaya kelak bisa memberi manfaat pada banyak orang. Insyaa Allaah orang tua saya tidak pernah silau dengan gelar ataupun jabatan, karena semua itu hanya bersifat fana. 
Maka mari luruskan niat, karena apa kamu menyelesaikan kuliahmu?

Bener kata bapak, selama ini sungguh banyak nikmat yang sudah saya dapatkan. Dan bagi saya, salah satu nikmat terbesar saya adalah memiliki orang tua yang luar biasa. Dengan orang tua yang sangat luar biasa seperti ini, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Semoga Allah senantiasa memberi nikmat sehat, iman, dan taqwa untuk bapak ibu..


Tulisan ini saya persembahkan untuk orang-orang luar biasa di sekeliling saya, yang selalu menjadi supporter saya entah bagaimana pun bentuk supportnya... Semoga Allah membalas kebaikan kalian :) dan untuk kawan-kawan yang juga sedang berjuang :)


Sleman, 8 Desember 2014






The Special One







Sebenarnya sudah lama sekali saya ingin menulis tentangnya.. Tepatnya sejak awal saya diamanahi untuk mendampinginya. Saya ingin membuat catatan rutin perkembangannya, namun ternyata niat itu tak terlaksanakan... Jadilah sekarang saya tuliskan versi ringkasannya.


Namanya adalah Ghina. Dia adalah sepupu saya dari pihak ibu. Sebagai anak tunggal, bisa dibilang sejak lahir dia tidak pernah terpisah dari orang tuanya. Lantas di mana spesial-nya? Dia spesial karena dia memiliki cara berkomunikasi yang berbeda dari orang kebanyakan :)  Ya, dia tuli sejak kecil. Sayangnya kondisi ini tidak terdeteksi sejak dini sehingga bisa diberi penanganan yang khusus. Kombinasi antara dia yang tidak bergaul dengan orang lain selain orang tuanya dan teman-temannya di sekolah yang mayoritas adalah anak autis, jadilah pada usia 12 tahun dia masih memiliki kesulitan dalam mengekspresikan maksudnya. Dia tidak bisa berbicara, dan juga tidak bisa bahasa isyarat (yang resmi diajarkan di SLB B). Mungkin itu juga alasan kenapa dia hanya mau berinteraksi dengan orang tuanya.

Singkat kata, orang tuanya sadar bahwa kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Ghina tidak akan pernah bisa mandiri bila dia tidak pernah bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Belum lagi kebiasaan tantrumnya bila punya keinginan yang tidak dipenuhi. Maka dari itu walaupun tidak tega, orang tua Ghina memutuskan untuk menyekolahkan Ghina di sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, yaitu SLB (B). Upaya yang mereka lakukan sungguh tidak setengah-setengah. Satu semester sebelum kelulusan SD Ghina sudah diajak terbang ke Pulau Jawa untuk mensurvei sekolah yang kira-kira cocok untuknya. Akhirnya mereka memutuskan Ghina bersekolah di SLB di Sleman, DIY.

Itulah awal mulanya saya diamanahi untuk menjadi wali Ghina di daerah rantauan ini. Tentu saja di awal saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak pernah memiliki adik, jadi tidak tau bagaimana cara memperlakukan seorang adik. Saya juga tidak mempunyai saudara perempuan, jadi saya juga bingung bagaimana cara memperlakukan saudara perempuan. Kecanggungan itu disempurnakan dengan saya tidak tau bagaimana cara berkomunikasi dengan anak tuna rungu yang cukup sulit untuk diajak fokus pada lawan bicara.  

Masa-masa awal perkenalan kami sungguh lumayan sulit. Ghina sulit untuk saya ajak kontak mata dan hanya diam tanpa ekspresi. Itulah saat dimana saya ingin mulai menulis 'Jurnal Perkembangan Ghina'. Saat itu saya bertekad untuk membangun trust Ghina kepada saya... Agar dia tidak lagi diam tanpa ekspresi.

Itu kisah setahun yang lalu. Alhamdulillah sekarang hubungan kami sudah mengalami banyak kemajuan. Ghina juga sudah mengalami banyak kemajuan. Satu poin penting dalam menangani anak berkebutuhan khusus, kita tidak bisa menyamakan parameter perkembangan setiap anak. Hal-hal yang biasa saja bagi orang lain, bisa jadi sangat luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus.

Ghina yang sekarang sudah bisa saya paksa untuk fokus melihat mata saya ketika saya ajak berkomunikasi. Oke, dia memang masih belum bisa bahasa isyarat ataupun membaca gerak bibir. Dia juga belum terlalu paham arti kata-kata dalam bentuk tulis. Tapi well, dengan kontak mata ini at least kami cukup bisa menyampaikan maksud kami satu sama lain, dengan dibantu bahasa isyarat acak-acakan ala Tarzan :D Ghina yang sekarang juga sudah cukup bisa dikendalikan emosinya, tidak gampang tantrum bila keinginannya tidak terpenuhi saat itu juga. Dia juga sudah bisa mencuci baju sendiri :D Dan yang paling membuat saya bahagia adalah dia sudah mau mengekspresikan afeksinya pada saya, entah itu dengan memeluk atau bercanda. Bagi orang lain mungkin itu tidak dianggap sebagai capaian yang luar biasa. tapi bagi saya itu sudah one step ahead dari Ghina yang pertama kali saya kenal.

Banyak pengalaman-pengalaman unik yang saya alami bersamanya. Tantangan yang paling terasa adalah ketika saya harus mengantarkannya pulang ke Samarinda ketika liburan kenaikan kelas beberapa bulan yang lalu. Pertama-tama saya harus berjuang untuk memahamkan dia bahwa kami akan melakukan perjalanan pulang ke rumahnya. Saya bahkan sudah menyiapkan surat pengantar dari pihak sekolah yang menjelaskan bahwa dia anak berkebutuhan khusus. Saya khawatir petugas di bandara mencurigai saya sebagai penculik anak di bawah umur. Karena Ghina belum memiliki KTP dan dia tidak akan bisa menjawab jika ada petugas yang menanyainya. So, lebih baik bersiap dengan kemungkinan terburuk :D Ketika di ruang tunggu bandara pun saya harus berkali-kali meminta maaf dan memberi penjelasan pada orang-orang yang berniat baik dengan mengajak ngobrol Ghina dan kebingungan ketika orang yang diajak bicara hanya menatap diam tanpa ekspresi. Dan ketika saya jelaskan bahwa Ghina tuna rungu, kebanyakan dari mereka langsung jadi awkward, bingung bagaimana harus memperlakukan Ghina. Yah, begitulah potret masyarakat kita,masih canggung dan bingung dalam berinteraksi dengan orang-orang berkebutuhan khusus.

Sekarang saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengenal seorang Ghina. Dia membuat saya bisa lebih mempersiapkan mental jika kelak saya menjadi orang tua. Oke, saya yakin semua orang berharap memiliki keturunan yang semua inderanya bisa berfungsi dengan normal. Tapi di sisi lain kita juga harus siap dengan seperti apapun anak yang diamanahkan Allah pada kita. Bisa jadi kita diamanahi seorang anak yang berkebutuhan khusus. Banyak orang tua yang tidak mau menerima kenyataan bahwa anaknya berkebutuhan khusus, dan itu hanya akan memperlambat perkembangan anak mereka. Ada juga yang menyembunyikan anak mereka di rumah karena dianggap sebagai aib. Padahal semua anak pastilah ciptaan sempurna dari Allah :) Tugas sebagai orang tua adalah menjaga amanah ini sebaik-baiknya, sesuai dengan kebutuhan mereka :)