Oke, daripada nanti jadi ada perbedaan persepsi terkait definisi cinta yang
dimaksud di sini, saya perjelas maksud dari cinta yang akan saya bahas adalah
cinta antara lawan jenis....
Kata orang, mencintai itu adalah fitrah manusia... Termasuk cinta terhadap
lawan jenis... bahkan ada yang bilang kalau seorang laki-laki atau perempuan
tidak pernah jatuh cinta, justru itu tidak normal..
Benarkah begitu? Lalu apakah saya tidak normal?
Jalaluddin Rumi mengatakan:
Cinta
letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak sekali. Ia
mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh, Cinta
dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening,
sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan
kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan
batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta
membuat budak menjadi pemimpin.
Bila seperti itu definisi
cinta, berarti ya, saya memang belum
pernah jatuh cinta kepada lawan jenis. Ketika orang yang jatuh cinta berarti ia
rela mengorbankan dan melupakan segalanya demi cinta, berarti ya, saya yakin
saya belum pernah jatuh cinta.
Jadi memang benar kalau saya tidak normal? Sebagaimana perkembangan manusia,
saya pun pernah mengalami masa puber. Jadi ya, tentu saja saya pernah naksir
lawan jenis, karena itu bagian dari perkembangan dari fase anak-anak. Namun
apakah taksir menaksir itu sudah pasti karena cinta? I don’t think so.. Karena saya merasa alasan saya naksir
seseorang lebih karena rasa kagum, bukan cinta. Kenapa saya bisa yakin? Karena
bila cinta adalah tentang perasaan, yang pernah saya alami adalah perasaan saya
tidak pernah mengalahkan logika.
Ingin tau buktinya?
Buktinya adalah selama fase ABG itu saya sama sekali tidak pernah pacaran. Saat
itu saya memilih untuk tidak pacaran karena beberapa alasan:
- Keluarga tidak memperbolehkan. Dan menurut saya ini adalah alasan yang lemah, karena walaupun keluarga melarang, kalau saya mau, peluang untuk pacaran tanpa sepengetahuan mereka sangatlah besar.
- Karena di lingkungan saya dulu, cenderung identik dengan hubungan seksual. Walaupun masih pelajar, hal itu bukanlah hal yang tidak lazim di lingkungan saya saat itu. Jadi ketika berpacaran, ya harus siap untuk bersedia melakukan hubungan seksual. Oke, bisa jadi saya terlalu menggeneralisasi, tapi ketika kita berada di lingkungan yang mana aktivitas seksual teman sudah menjadi bahan pembicaraan yang biasa, mau tidak mau kita akan berpikir bahwa itu sudah menjadi hal yang lumrah. Walaupun saat itu pengetahuan agama saya sangat dangkal(bukan berarti saat ini sudah dalam lho ya), saya tetap meyakini bahwa hubungan seksual sebelum menikah itu adalah dosa besar. Jadi saya tidak mau coba-coba melakukan sesuatu(pacaran-red) yang saya tau arahnya akan kesana. Dan alhamdulillah teman-teman saya menghargai prinsip saya itu, dan tidak ada yang berpikir ‘kalau ga pacaran berarti ga gaul. Dan walaupun tidak banyak, saya masih memiliki komunitas teman yang memang memilih untuk tidak berpacaran, walaupun alasannya memang bukan karena ideologi agama.
- Karena teman laki-laki di lingkup pergaulan saya kebanyakan adalah berbeda agama dengan saya. Dan seandainya pun saya menemukan pacar yang sama-sama sepakat bahwa hubungan seksual sebelum nikah itu tidak boleh, tapi bila kami beda agama tetap tidak akan ada masa depan untuk kami. Karena dalam budaya di daerah kami, bila calon suami dan istri beda agama, si perempuan lah yang mengalah dan mengikuti agama suaminya. Dan hal itu banyak terjadi. Jadi walaupun saat itu saya sama sekali tidak bisa dibilang religius, saya tetap meyakini bahwa pantang berpindah agama. So kenapa harus pacaran dengan seseorang yang kita tahu di akhir nanti akan mengalami sad ending?!
Ketiga hal di atas inilah yang menjadi alasan saya memilih untuk tidak
berpacaran. Saat itu bahkan saya belum tahu kalau dalam Islam bukan hanya
melarang zina, tapi mendekati zina pun tidak boleh. Dan walaupun di Qur’an
tidak ada ayat yang jelas-jelas mengatakan ‘dilarang pacaran’, sekarang
akhirnya saya paham bahwa pacaran itu merupakan salah satu tahapan mendekati
zina. Saya bersyukur 3 alasan saya tadi bisa membuat saya untuk istiqomah
memilih untuk tidak pacaran :-). Dan saya juga bersyukur saat itu tidak pernah jatuh
cinta seperti yang digambarkan Jalaluddin Rumi tadi, karena bila iya, bisa jadi
ketiga alasan saya tadi hilang ditiup angin hanya karena demi ‘cinta’.
Lalu apakah saya tidak ingin jatuh cinta? Tentu saja saya ingin jatuh cinta....
dan terlintas harapan-harapan ketika nanti cinta itu datang...
Ketika cinta datang, aku tidak ingin cinta yang membutakan... Kebutaan yang
membuatku melihat kebaikan sebagai keburukan dan keburukan sebagai kebaikan. Aku
ingin cinta yang membuat penglihatanku semakin jernih, jernih untuk melihat
cinta yang haqiqi...
Ketika cinta datang, aku ingin datangnya di waktu yang tepat, yaitu ketika
sudah ada ikatan yang membuat cinta ini mendatangkan pahala, bukan justru
mendatangkan dosa..
Ketika cinta datang, aku ingin cintaku padanya tidak sampai melebihi cintaku
pada-Nya, dan jangan sampai cintanya padaku melebihi cintanya pada-Nya....
Bagi saudara-saudara seiman yang menanti datangnya cinta, bersabarlah
menunggu... Karena yakinlah, tiap manusia sudah digoreskan nama orang yang menjadi cinta-nya...
Dan ketika cinta itu telah datang, buatlah agar cinta itu bisa semakin mengeratkan
hubungan dengan-Nya. Jadi jagalah dirimu hingga cinta itu datang :)
Sebagai penutup, saya sisipkan 1 puisi indah
Ya Allah, jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang
yang melabuhkan cintanya pada-Mu, agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu.
Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku
padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu
Ya Allah, jika aku jatuh hati, izinkanlah aku
menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu,agar tidak terjatuh aku
dalam jurang cinta semu.
Ya Rabbana, jika aku jatuh hati, jagalah hatiku
padanya agar tidak berpaling pada hati-Mu.
Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu, rindukanlah aku
pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.
- Keluarga tidak memperbolehkan. Dan menurut saya ini adalah alasan yang lemah, karena walaupun keluarga melarang, kalau saya mau, peluang untuk pacaran tanpa sepengetahuan mereka sangatlah besar.
- Karena di lingkungan saya dulu, cenderung identik dengan hubungan seksual. Walaupun masih pelajar, hal itu bukanlah hal yang tidak lazim di lingkungan saya saat itu. Jadi ketika berpacaran, ya harus siap untuk bersedia melakukan hubungan seksual. Oke, bisa jadi saya terlalu menggeneralisasi, tapi ketika kita berada di lingkungan yang mana aktivitas seksual teman sudah menjadi bahan pembicaraan yang biasa, mau tidak mau kita akan berpikir bahwa itu sudah menjadi hal yang lumrah. Walaupun saat itu pengetahuan agama saya sangat dangkal(bukan berarti saat ini sudah dalam lho ya), saya tetap meyakini bahwa hubungan seksual sebelum menikah itu adalah dosa besar. Jadi saya tidak mau coba-coba melakukan sesuatu(pacaran-red) yang saya tau arahnya akan kesana. Dan alhamdulillah teman-teman saya menghargai prinsip saya itu, dan tidak ada yang berpikir ‘kalau ga pacaran berarti ga gaul. Dan walaupun tidak banyak, saya masih memiliki komunitas teman yang memang memilih untuk tidak berpacaran, walaupun alasannya memang bukan karena ideologi agama.
- Karena teman laki-laki di lingkup pergaulan saya kebanyakan adalah berbeda agama dengan saya. Dan seandainya pun saya menemukan pacar yang sama-sama sepakat bahwa hubungan seksual sebelum nikah itu tidak boleh, tapi bila kami beda agama tetap tidak akan ada masa depan untuk kami. Karena dalam budaya di daerah kami, bila calon suami dan istri beda agama, si perempuan lah yang mengalah dan mengikuti agama suaminya. Dan hal itu banyak terjadi. Jadi walaupun saat itu saya sama sekali tidak bisa dibilang religius, saya tetap meyakini bahwa pantang berpindah agama. So kenapa harus pacaran dengan seseorang yang kita tahu di akhir nanti akan mengalami sad ending?!
Ya Allah, jika aku rindu, jagalah rinduku padanya
agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu.
Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga
malam terakhirmu.
Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru
manusia kepada-Mu.
Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,
jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan
rindu abadi hanya kepada-Mu.
Ya Allah Engkau mengetahui bahawa hati-hati ini
telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa pada taat pada-Mu, telah
bersatu dalam dakwah pada-MU, telah berpadu dalam membela syariat-Mu.
Kukuhkanlah Ya Allah ikatannya. Kekalkanlah
cintanya.
Tunjukilah jalan-jalannya.
Penuhilah hati-hati ini dengan Nur-Mu yang tiada
pernah pudar.
Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan
keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal di jalan-Mu.
(As-Syahid Sayyid Qutb)
0 comments:
Post a Comment