RSS

makna sebuah rumah

Dulu sekali, ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku sempat bingung kenapa versi Inggris dari kata ‘rumah’ ada dua. Kadang disebut ‘house’ dan kadang disebut ‘home’. Padahal artinya sama, yaitu ‘rumah’. Lama kelamaan akhirnya aku bisa menemukan sense yang berbeda antara dua diksi tersebut. Ada berbagai jenis bangunan yang bisa disebut rumah, tapi belum tentu semua penghuni di bangunan tersebut merasakan itu sebagai ‘rumah’ mereka. Yang paling diharapkan adalah ‘house’ yang sekaligus ‘home’.
Lantas, di manakah rumahku? Atau bila menggunakan versi bahasa Inggris, “where is my home”?
Rumah yang pertama kali bisa kuingat adalah sebuah bangunan asrama polisi dengan 2 kamar tidur. Rumah yang sangat sederhana. Sebenarnya ini bukan rumah pertamaku. Ketika baru dilahirkan aku tinggal di asrama lain, yang jauh lebih sempit. Tapi karena aku tidak bisa mengingatnya, bangunan itu tidak pernah kuanggap sebagai rumah. Jadi di bangunan sederhana tadi lah aku merasakan ‘home’ yang pertama. Walaupun sederhana, aku selalu merasa itu sebagai istana yang paling indah daripada asrama di kanan kiri kami. Kenapa? Karena rumah ini lah yang paling bersinar. Orang tuaku selalu merawat rumah ini sebaik mungkin. Orang yang melihat pun selalu merasa ‘adem’ dengan pagar hidup yang rapi terpangkas, pohon buah-buahan yang berbuah ranum, dan berbagai jenis bunga yang berwarna warni. Belum lagi ayam berkaki pincang yang sangat kami sayang, itupun turut memperindah rumah kami. Itulah rumah pertamaku, yang kudiami semenjak ku bayi hingga kelas 1 SD bersama dengan orang tua, 3 kakak laki-laki, dan nenekku.
And then my second home. Setelah bertahun-tahun tinggal di rumah itu, kami akhirnya berpindah ke asrama lainnya. Rumah ke dua ini hana berjarak beberapa ratus meter dari rumah kami sebelumnya. Untuk waktu yang cukup lama, tidak ada orang yang mau tinggal di asrama ini, karena penghuni sebelumnya meninggal di sini dan itu dianggap membawa sial. Dan ke rumah itulah kami berpindah, tanpa peduli dengan mitos yang beredar. Ketika smua orang yang lebih besar sibuk mengangkut barang untuk pindahan, aku yang saat itu masih berusia 6 tahun juga turut membantu : menggendong ayam kesayanganku dan anak-anaknya ke rumah baru kami ^_____^
Disitulah kami, perlahan-lahan menghilangkan kesan ‘suram’ dari rumah tersebut. Seperti rumah kami sebelumnya, aku kembali merasa asrama kami yang baru ini jadi paling bersinar daripada asrama di sekitarnya J Buah-buahan yang berlimpah, dan berbagai jenis bunga yang bergantian mekar. Di rumah ini juga aku pertama kali memperoleh kamar untuk diriku sendiri. Saat itu aku menangis karena sedih tidak diizinkan menempati kamar yang sama dengan kakak-kakakku....... tapi akhirnya aku sangat menyukai kamarku. Kamar ukuran 3x3 m yang memiliki pintu dan jendela yang enghadap langsung ke taman bunga. Pemandangan yang luar biasa!!!

Itu tadi rumah ke duaku.Aku sangat menyukai rumah itu. Karena dengan halaman yang luar, kami bisa menanam berbagai tanaman dan memelihara berbagai binatang J tapi sayang, ketika aku berusia 10 tahun kami harus keluar dari rumah itu karena bapak sudah tidak lagi bertugas di kota ini. Setelah berembug, kami sepakat utntuk membangun rumah seadanya. Hasil musyawarah, kami membangun rumah di tanah bapak di pemaron, dengan pertimbangan lokasinya yang dekat dengan masjid. Rumah pun dibangun dengan semua uang yang bisa diusahakan: ibu menjual semua perhiasan emas yang dimiliki kecuali mas kawin dari bapak, bapak menjual semua ternak yang dimiliki, dan isi rekening tabunganku dan saudara-saudaraku juga digunakan untuk membangun rumah. Karena minimnya anggaran yang kami miliki, sebisa mungkin kami melakukan pekerjaan yang bisa kami lakukan. Misalnya, kakak-kakakku membantu menggali untuk membuat fondasi, Aku membantu mengecat genteng yang belum dipasang. Ketika rumah baru setengah jadi, kami langsung pindah ke rumah ini. Perlahan-lahan kami menyelesaikan rumah ini. Bapak mengecat sebagian tembok rumah. Kami (anak-anak) mempelitur kunsen, pintu, dan jendela. Pokoknya, kami melakukan apa yang bisa kami lakukan, karena tidak ada lagi uang yang tersisa untuk membayar tukang yang bekerja profesional. Hehehe..... untunglah bapakku tipe orang yang mau melakukan apa saja, dan itulah yang beliau ajarkan pada kami. Setelah bertahun-tahun, akhirnya bisa dibilang pengerjaan rumah ini selesai. Di rumah ini lah aku tiggal hingga saat ini.

dari tiga bangunan yang kusebut rumah tadi, aku bisa menarik 1 kesimpulan: ‘home’ atau rumah bagiku bisa dimana saja, selama itu bersama dengan orang-orang yang kusayangi. Entah itu di asrama yang sempit ataupun di bangunan yang kami bangun dengan keringat kami sendiri. Rumah adalah tempat dimana aku bisa merasa aman dan terlindungi. Tempat dimana aku merasa bahwa inilah tempat yang paling bersinar dan menyejukkan. Tempat dimana kami sama-sama belajar dan memperbaiki diri. Tempat kami mempersiapkan diri untuk membangun peradaban. Itulah rumah bagiku J


Singaraja, 9 September 2011
01.20 WITA di tenga kesunyian malam yang herannya bebas dari lolongan anjing-anjing tetangga

0 comments:

Post a Comment