RSS

Mencari Bapak!!!!!


Sebelumnya saya tekankan bahwa saya menulis ini bukan karena tendensi apapun, dan juga tidak membawa misi terselubung. Hanya ingin menshare  apa-apa yang saya dapatkan dan alami.

Hmmm…. Mungkin dimulai dari ramadhan lalu, di sebuah agenda RDK, yaitu acara Dialog Parenting dengan pembicara Ust. Fauzil Adhim dan Ustadzah  Nunung. Satu pernyataan sang ustadz yang paling nyantol di kepala saya adalah : “untuk menikah nanti, jangan nyari calon suami, tapi carilah calon bapak. Kalau cuma nyari calon suami mah gampang banget.. di pinggir jalan juga banyak (loh?), tapi kl nyari calon bapak itu susaaaaahhh…..” he… mungkin ga persis gitu kalimatnya, tapi intinya ya begitu :p
Dua pekan lalu pernyataan itu saya sampaikan ke adik aai yang minta materi munakahat (- -‘) Setelah mendengar itu mereka pada manggut2 setuju… Bismillah, moga jadi awalan yang baik bagi mereka…
Nah, sampai dimana bahasan kita tadi???? yuph, sampai mencari calon suami.  Hal ini membuat pikiran saya melayang  ke salah satu kelas yang saya ambil tahun lalu, yaitu matakuliah Pengantar Konseling Keluarga  dan Perkawinan. Kelas yang tak terlupakan, soale tiap jadwal kelas ini, saya mesti lari pontang panting ke lantai 3 supaya ga telat, demi menghindari bencana disuruh nyanyi di depan kelas.  Ternyata lari pontang panting pun ga jadi jaminan, karena ternyata banyak juga yang tetep telat n mesti nyanyi dalam keadaan ngos2an. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, kalau memang sudah telat ya ga usah lari2.. karena ga akan mengubah keadaan… mending sepanjang perjalanan ke kelas dipakai untuk menghafal lagu n latian nyanyi sebelum konser di depan kelas ^^v

Paragraf di atas  tadi cuma ngalor ngidul mengenang kelucuan yang terjadi. Inti dari kelas itu adalah kami dipaparkan pada kenyataan… kami dijejali kasus2 keluarga yang benar2 terjadi dan diminta mengkritisi tiap kasus tersebut. Kelas ini bahkan sempat mendatangkan pelaku utama yang ada pada salah satu kasus, dan kami bisa berdiskusi dengan beliau. Dari semua kasus tersebut, kami (atau saya?) menyimpulkan bahwa sebagian besar keretakan/kehancuran rumah tangga itu tidak ujug2 terjadi, tapi merupakan akumulasi dari suatu awalan yang tidak tepat. Yang dimaksud awalan di sini adalah visi misi sebelum memasuki jenjang pernikahan…. (bukan cuma organisasi yang butuh visi misi di ADART) Hal ini sangatlah penting.. Karena tanpa kesepakatan visi misi sedari awal, akan rawan terjadi konflik di kemudian hari. Sang dosen bahkan berpesan, pikirkanlah visi misi kalian sejak saat ini, dan buat sedetail/operasional mungkin… karena visi misi yang sifatnya umum sangatlah multi tafsir… berikut ini contoh kasus nyata yang terjadi karena visi misi yang multi tafsir :

Seorang laki2, sebut saja pak Dodi (bukan nama sebenarnya). Pak Dodi ini merasa masa kecilnya tidaklah bahagia.. Bapaknya lebih sering menganggur, dan ibunya harus banting tulang bekerja untuk menafkahi keluarganya. Tiap hari sang ibu pulang dalam keadaan kelelahan…. Karena hal itu,  Dodi muda berjanji kelak ketika menikah ia akan membahagiakan istrinya, agar tidak mengalami apa yang dialami ibunya. Jadilah, sang Dodi muda ketika meminang gadis pujaan hatinya berjanji akan berperan sebagai suami yang baik dan membahagiakan istrinya…. Kalau di cerita2 fiksi seharisnya ini berlanjut dengan ‘happily ever after’. Tapi hidup bukanlah cerita fiksi… setelah menjadi istri dari pak Dodi, bu Dodi mulai stress dan lama kelamaan menjadi depresi… mengapa?? Karena sebelum menikah, bu Dodi ini merupakan perempuan yang tidak biasa berpangku tangan. Setelah menikah, pak Dodi melarang bu Dodi bekerja karena tidak ingin istrinya sengsara seperti sang bunda… ternyata bu Dodi yang semasa gadisnya biasa beraktivitas tidak menyukai perlakuan itu.. bu Dodi merasa useless sebagai seorang manusia… masalah tersebut lama-kelamaan terakumulasi dan retaklah keluarga tersebut.

Inti dari kasus di atas bukan tentang bagaimana seharusnya peran ideal seorang suami atau istri. Kasus ini lebih menekankan pada komunikasi yang tidak berjalan baik sejak awal, sehingga tertimbun terus dan meledak di kemudian hari. Keretakan ini tidak hanya menyangkut pihak suami-istri, tapi bisa melebar tak terhingga. Efek negatifnya bisa sampai ke anak, extended family, bahkan masyarakat. Ini juga yang kami gali di proyek tugas akhir kami dengan anggota tim yang keren2  ;P

Masalah visi misi yang tadi sempat saya singgung  mengingatkan saya  pada status seorang teman di fb (di dunia nyata juga kenal sih..) yang menuliskan bahwa “jika Anda bukan ikhwan dari partai X, jangan harap bisa menikahi akhwat dari partai X, karena pasti ditolak”. Status ini mengingatkan saya pada sebuah skripsi (atau thesis ya?) yang saya baca di perpus fakultas. Hipotesisnya kurang lebih mirip. Menurut saya, hal ini terjadi bukan karena perbedaan partai. Sangat picik bila memutuskan pasangan hidup hanya karena partai. Dalam QS An Nur 26 jelas2 tidak menyebut ‘perempuan partai X untuk laki2 partai X’. Tapi kenapa sampai muncul fenoma yang terlihat seperti itu??
Bila ditilik dari prinsip visi misi ini, seseorang harus tau apa yang ingin ia raih. Untuk itulah ia membuat visi misi hidup, dan visi misi pernikahan juga termasuk bagian dari ini. Jadi bukan  baru membuat visi misi ketika sudah akan menikah lho!!(- -‘) nah, ketika muncul seorang(atau lebih??) calon pasangan hidup, kedua orang ini saling memaparkan visi misi masing2… ketika memang cocok, ya lanjut… atau  ada yang lanjut setelah salah satu ada yang rela mengkompromikan beberapa misi yang tidak sesuai. Ga masalah… yang penting visi misi ini akhirnya bisa match. Kalau memang tidak bisa match, ya saygoodbye…. Kalau ingin idealis mesti seperti itu… walaupun tidak bisa dipungkiri juga the power ofistikharah, karena terkadang logika kita belum tentu benar  ^_^
Kembali ke soal partai X, bisa jadi bukan tentang partai ini yang menjadi alasan utama, tapi lebih dikarenakan sesuatu yang lebih mendasar, yaitu visi misi hidup tadi. nah, partai atau apapun gerakan yang diikuti hanyalah salah satu parameter yang bisa dijadikan tolak ukur. Kenapa bisa begitu??karena seseorang memilih partai/ gerakan tentunya didasari oleh kesesuaian parta/gerakan tadi dengan visi misi hidup orang tersebut yang sifatnya sangat mendasar/prisip. Jadi kalau terjadi kasus seperti status teman tadi atau skripsi yang saya baca, janganlah pragmatis hanya melihatnya karena perbedaan partai/gerakan, tapi lihatlah apa yang mendasari dari semua itu.Bener ga sih????? Wallahu’alam bi showab , itu tadi cuma analisis saya J

Btw soal matakuliah PKKP… ini merupakan matakuliah yang sangat saya rekomendasikan untuk semua mhsw psikologi (bahkan yg non psi). Soalnya ini lumayan bisa menetralisir ‘doktrinasi’ yang aneh2 ^^v kemarin sempat membahas ini dengan 2 orang sahabat. Kami sama-sama merasakan bahwa beberapa dosen aura feminisnya sangatlah kental( ga semua lho), dan aura ini terasakan ke para mahasiswi. Seolah2 psikologi hanyalah ‘untuk Anda’, bukan ‘untuk kita’. Apalagijika dibandingkan dengan prinsip Islam…. Wuiiihhhh…. Bakal banyak banget teori2 ataupun prinsip2 hidup yang sangatlah bertentangan dengan Islam. Itulah kenapa kita mesti kritis ^^v nah, kuliah PKKP ini lumayan bisa ‘menetralisir’ doktrinasi feminisme yang tersebar J

Nah… dari tulisan saya yang luas (panjang x lebar) di atas, beberapa poin pentingnya adalah tentangMENCARI CALON BAPAK(atau ibu) dan VISI MISI YANG OPERASIONAL ^,^  Sudahkah kalian (saya) memikirkan tentang semua itu???  bukan hanya visi misi yang ABSTRAK, dan bukan pula visi misi yang mendadak dibuat setelah sudah ada calon yang  ‘diincar’. Karena menikah bukan hanya tentangijab qobul dan walimatul ursy.. tapi ini menyangkut PERADABAN yang akan kita bangun. Membangun rumah saja mesti ada perencanaan matang, apalagi untuk membangun peradaban. Ini bukan main2.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan petuah yang saya terima dari murobbiyah saya dulu, yang kalau tidak salah beliau juga mendapatkan itu dari sang murobbiyah beliau ;) isinya kurang lebih seperti ini “seseorang yang merasa yakin siap menikah, ia akan merasa sama siapnya jika harus menikah saat ini juga, atau 10 tahun lagi, atau bahkan jika ia ternyata ia tidak mendapat jodoh di dunia. Ia akan siap dengan semua itu” nah lho, siapkah kita untuk menikah detik ini?? Atau 10 tahun lagi?? Atau siapkah kita bila Allah ternyata memutuskan bahwa pasangan kita ada di akhirat?? Siapkah kita dengan semua kemungkinan tadi?? monggo dipikirkan ^__________^

2 comments:

Avisenna Pramitasari said...

wei ul kowe wez delok blog ku rung? cie2 anyar ki...
ayo ndang bali

Nurul said...

avis to??? ho'o.. anyar ki^^ kau adalah komentator pertamaku. hohohoho

Post a Comment